Baca Juga
ilsustrasi |
Ini
adalah kasus wanita berjilbab rapat dan bercadar dari Wisma Fatimah di Jl. Alex
Kawilarang 63 Bandung Jawa Barat yang mengidap penyakit kotor gonorhe (kencing
nanah) akibat nikah mut'ah. Yaitu pernikahan dengan sistem kontrak dalam waktu
tertentu. Pernikahan ini berakhir dengan berakhirnya waktu yang telah
disepakati tanpa harus ada kalimat talak yang terlontar.
Dari
Muhammad bin Muslim, dari Abu Ja'far, ia berpendapat tentang mut'ah, bahwa ia
tidak hanya terbatas empat wanita, karena mereka tidak perlu dicerai, tidak
mewarisi, sebab mereka itu dikontrak." (dari ktiab Syi'ah: al Furu' al
Kaafi: 2/43 dan al Tahdziib: 2/188)
Bahkan
ada yang menyebutnya sebagai pelacuran terselubung karena bentuknya yang serupa
dengan pelacuran, yaitu sama-sama menyewakan tubuh dan kemaluan. Abu Abdullah
berkata, "menikahlah dengan seribu wanita, karena wanita yang dimut'ah
adalah wanita sewaan." (Al Kaafi: V/452)
Nikah
mut'ah ini sangat diagungkan oleh sekte Syi'ah dengan janji pahala yang besar.
Disebutkan dalam Minhajul Qashidin (kitab Syi'ah), karya Fathullah al
Kasyani (hal 356), dari imam al Shadiq, bahwa mut'ah adalah bagian dari agamaku
dan agama nenek moyangku. Barangsiapa yang mengamalkannya berarti berarti ia
mengamalkan agama kami, dan yang mengingkarinya berarti mengingkati agama kami,
bahkan dia bisa dianggap beragama dengan selain agama kami. Anak yang
dilahirkan dari perkawinan mut'ahlebih utama daripada anak yang dilahirkan
melalui nikah yang tetap. Dan orang yang mengingkari nikah Mut'ah ia kafir dan
murtad."
Kisah
wanita bercadar yang mengidap gonorhe ini pernah dilaporkan oleh Lembaga
Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) yang berkasnya disampaikan ke Kejaksaan
Agung dan seluruh gubernur, mengutip ASA (Assabiqunal Awwalun) edisi 5, 1411H,
hal. 44-47 dengan judul “ Pasien Terakhir “, seperti yang dimuat buku
"Mengapa Menolak Syi’ah" halaman 270-273. Berikut ini kisah
selengkapnya:
*
* * *
Untuk
kedua kalinya wanita itu pergi ke dokter Hanung, seorang dokter spesialis kulit
dan kelamin di kota Bandung. Sore itu ia datang sambil membawa hasil
laboratorium seperti yang diperintahkan dokter dua hari sebelumnya. Sudah
beberapa Minggu dia mengeluh merasa sakit pada waktu buang air kecil (drysuria)
serta mengeluarkan cairan yang berlebihan dari vagina (vaginal discharge).
Sore
itu suasana di rumah dokter penuh dengan pasien. Seorang anak tampak menangis
kesakitan karena luka di kakinya, kayaknya dia menderita Pioderma. Di
sebelahnya duduk seorang ibu yang sesekali menggaruk badannya karena gatal. Di
ujung kursi tampak seorang remaja putri melamun, merenungkan acne vulgaris
(jerawat) yang ia alami.
Ketika
wanita itu datang ia mendapat nomor terakhir. Ditunggunya satu persatu
pasien berobat sampai tiba gilirannya. Ketika gilirannya tiba, dengan
mengucapkan salam dia memasuki kamar periksa dokter Hanung. Kamar periksa itu
cukup luas dan rapi. Sebuah tempat tidur pasien dengan penutup warna putih.
Sebuah meja dokter yang bersih. Di pojok ruang, terdapat sebuah wastafel untuk
mencuci tangan setelah memeriksa pasien serta kotak yang berisi obat-obatan.
Sejenak
dokter Hanung menatap pasiennya. Tidak seperti biasa, pasiennya ini adalah
seorang wanita berjilbab rapat dan bercadar. Tidak ada yang kelihatan kecuali
sepasang mata yang menyinarkan wajah duka. Setelah wawancara sebentar
(anamnese) dokter Hanung membuka amplop hasil laboraturium yang dibawa
pasiennya. Dokter Hanung terkejut melihat hasil laboraturium. Rasanya adalah
hal yang mustahil. Ada rasa tidak percaya terhadap hal itu. Bagaimana mungkin
seorang wanita berjilbab yang tentu saja menjaga kehormatannya terkena penyakit
itu, penyakit yang hanya mengenai orang-orang yang sering berganti-ganti
pasangan sexsual.
Dengan
wajah tenang dokter Hanung melakukan anamnese lagi secara cermat.
+
“Saudari masih kuliah?”
-
“Masih dok.”
+
“Semester berapa?”
-
“Semester tujuh dok.”
+
“Fakultasnya?”
-
“Sospol”
+
“Jurusan komunikasi massa ya?”
Kali
ini ganti pasien terakhir itu yang kaget. Dia mengangkat muka dan menatap
dokter Hanung dari balik cadarnya.
-
“Kok dokter tahu?”
+
“Aah,….tidak, hanya barangkali saja!”
Pembicaraan
antara dokter Hanung dengan pasien terakhirnya itu akhirnya seakan-akan beralih
dari masalah penyakit dan melebar kepada persoalan lain yang sama sekali tidak
ada hubungannya dengan masalah penyakit itu.
+
“Saudari memang penduduk Bandung ini atau dari luar kota?
Pasien
terakhir itu nampaknya mulai merasa tidak enak dengan pertanyaan dokter yang
mulai menyimpang dari masalah-masalah medis itu. Dengan jengkel dia menjawab.
-
“Ada apa sih Dok…..kok tanya macam-macam?”
+
“Aah enggak,……..barangkali saja ada hubungannya dengan penyakit yang saudari
derita.”
Pasien
terakhir ini tampaknya semakin jengkel dengan pertanyaan dokter yang
kesana-kemari itu. Dengan agak kesal dia menjawab.
-
“Saya dari Pekalongan.”
+
“Kost-nya?”
-
“Wisma Fathimah, jalan Alex Kawilarang 63.”
+
“Di kampus sering mengikuti kajian Islam yaa?”
-
“Ya,..kadang-kadang Dok.”
+
“Sering mengikuti kajian Bang Jalal?”
Sekali
lagi pasien terakhir itu menatap dokter Hanung.
-
“Bang Jalal siapa?” Tanyanya dengan nada agak tinggi.
+
“Tentu saja Jalaluddin Rachmat, Di Bandung siapa lagi Bang Jalal selain
dia….kalau di Yogya ada Bang Jalal
Muksin.”
-
“Yaa,…….kadang-kadang saja saya ikut.”
+
“Di Pekalongan,……(sambil seperti mengingat-ingat) kenal juga dengan Ahmad
Baraqba?”
Pasien
terakhir itu tampak semakin jengkel dengan pertanyaan-pertanyaan dokter yang
semakin tidak mengarah itu. Tetapi justru dokter Hanung manggut-manggut dengan
keterkejutan pasien terakhirnya. Dia menduga bahwa penelitian penyakit
pasiennya itu hampir selesai. Akhirnya dengan suara yang penuh dengan tekanan
dokter Hanung berkata.
-
“Begini saudari, saya minta maaf atas pertanyaan-pertanyaan saya yang ngelantur
tadi, sekarang tolong jawab pertanyaan saya dengan jujur demi untuk therapi
penyakit yang saudari derita,…………..”
Sekarang
ganti pasien terakhir itu yang mengangkat muka mendengar perkataan dokter
Hanung. Dia seakan terbengong dengan pertanyaan apa yang akan dilontarkan oleh
dokter yang memeriksanya kali ini.
+
“Sebenarnya saya amat terkejut dengan penyakit yang saudari derita, rasanya
tidak mungkin seorang ukhti mengidap penyakit seperti ini.”
-
“Sakit apa dok?”
Pasien
terakhir itu memotong kalimat dokter Hanung yang belum selesai dengan amat
Penasaran.
+
“Melihat keluhan yang anda rasakan serta hasil laboraturium semuanya menyokong
diagnosis gonorhe, penyakit yang disebabkan hubungan seksual.”
Seperti
disambar geledek perempuan berjilbab biru dan berhijab itu, pasien terakhir
dokter Hanung sore itu berteriak,
“Tidak
mungkin!!!”
Dia
lantas terduduk di kursi lemah seakan tak berdaya, mendengar keterangan dokter
Hanung. Pandangan matanya kosong seakan kehilangan harapan dan bahkan seperti
tidak punya semangat hidup lagi. Sementara itu pembantu dokter Hanung yang
biasa mendaftar pasien yang akan berobat tampak mondar-mandir seperti ingin
tahu apa yang terjadi. Tidak seperti biasanya dokter Hanung memeriksa pasien
begitu lama seperti sore ini. Barangkali karena dia pasien terakhir sehingga
merasa tidak terlalu tergesa-gesa maka pemeriksaannya berjalan agak lama.
Tetapi kemudian dia terkejut mendengar jeritan pasien terakhir itu sehingga ia
merasa ingin tahu apa yang terjadi.
Dokter
Hanung dengan pengalamannya selama praktek tidak terlalu kaget dengan reaksi
pasien terakhirnya sore itu. Hanya yang dia tidak habis pikir itu kenapa
perempuan berjilbab rapat itu mengidap penyakit yang biasa menjangkit
perempuan-perempuan nakal. Sudah dua pasien dia temukan akhir-akhir ini yang
mengidap penyakit yang sama dan uniknya sama-sama mengenakan busana muslimah.
Hanya yang pertama dahulu tidak mengenakan hijab penutup muka seperti pasien
yang terakhirnya sore itu. Dulu pasien yang pernah mengidap penyakit yang
seperti itu juga menggunakan pakaian muslimah, ketika didesak akhirnya dia
mengatakan bahwa dirinya biasa kawin mut’ah. Pasiennya yang dahulu itu telah
terlibat jauh dengan pola pikir dan gerakan Syi’ah yang ada di Bandung ini.
Dari pengalaman itu timbul pikirannya menanyakan macam-macam hal mengenai
tokoh-tokoh Syi’ah yang pernah dia kenal di kota Kembang ini dan juga kebetulan
mempunyai seorang teman dari Pekalongan yang menceritakan perkembangan gerakan
Syi’ah di Pekalongan. Beliau bermaksud untuk menyingkap tabir yang menyelimuti
rahasia perempuan yang ada di depannya sore itu.
+
“Bagaimana saudari… penyakit yang anda derita ini tidak mengenai kecuali
orang-orang yang biasa berganti-ganti pasangan seks. Rasanya ini tidak mungkin
terjadi pada seorang muslimah seperti anda. Kalau itu masa lalu anda baiklah saya
memahami dan semoga dapat sembuh, bertaubatlah kepada Allah,….atau mungkin ada
kemungkinan yang lain,…?”
Pertanyaan
dokter Hanung itu telah membuat pasien terakhirnya mengangkat muka sejenak,
lalu menunduk lagi seperti tidak memiliki cukup kekuatan lagi untuk
berkata-kata. Dokter Hanung dengan sabar menanti jawaban pasien terakhirnya
sore itu. Beliau beranjak dari kursi memanggil pembantunya agar mengemasi
peralatan untuk segera tutup setelah selesai menangani pasien terakhirnya itu.
-
“Saya tidak percaya dengan perkataan dokter tentang penyakit saya !” Katanya
terbata-bata.
+
“Terserah saudari,…….tetapi toh anda tidak dapat memungkiri kenyataan yang anda
sandang-kan?”
-
“Tetapi bagaimana mungkin mengidap penyakit laknat tersebut sedangkan saya
selalu berada di dalam suasana hidup yang taat kepada hukum Allah?”
+
“Sayapun berprasangka baik demikian terhadap diri anda,….tetapi kenyataan yang
anda hadapi itu tidak dapat dipungkiri.”
Sejenak
dokter dan pasien itu terdiam. Ruang periksa itu sepi. Kemudian terdengar suara
dari pintu yang dibuka pembantu dokter yang mengemasi barang-barang peralatan
administrasi pendaftaran pasien. Pembantu dokter itu lantas keluar lagi dengan
wajah penuh tanda tanya mengetahui dokter Hanung yang menunggui pasiennya itu.
+
“Cobalah introspeksi diri lagi, barangkali ada yang salah,…….. sebab secara
medis tidak mungkin seseorang mengidap penyakit ini kecuali dari sebab
tersebut.”
-
“Tidak dokter,…….selama ini saya benar-benar hidup secara baik menurut tuntunan
syari’at Islam,…..saya tetap tidak percaya dengan analisa dokter.”
Dokter
Hanung mengerutkan keningnya mendengar jawaban pasiennya. Dia tidak merasa
sakit hati dengan perkataan pasiennya yang berulang kali mengatakan tidak
percaya dengan analisisnya. Untuk apa marah kepada orang sakit. Paling juga
hanya menambah parah penyakitnya saja, dan lagi analisanya toh tidak menjadi
salah hanya karena disalahkan oleh pasiennya. Dengan penuh kearifan dokter itu
bertanya lagi,……..
+
“Barangkali anda biasa kawin mut’ah??
Pasien
terakhir itu mengangkat muka,
-
“Iya dokter, Apa maksud dokter”?
+
“Itu kan berarti anda sering kali ganti pasangan seks secara bebas."
-
“Lho,… tapi itukan benar menurut syari’at Islam dok!" Pasien itu membela
diri.
+
“Ooo,…Jadi begitu,…kalau dari tadi anda mengatakan begitu saya tidak bersusah
payah mengungkapkan penyakit anda. Tegasnya anda ini pengikut ajaran Syi’ah
yang bebas berganti-ganti pasangan mut’ah semau anda. Ya itulah petualangan
seks yang anda lakukan. Hentikan itu kalau Anda ingin selamat”.
-
“Bagaimana dokter ini, saya kan hidup secara benar menurut Syari’at Islam
sesuai dengan keyakinan saya, dokter malah melarang saya dengan dalih-dalih
medis.”
Sampai
di sini dokter Hanung terdiam. Sepasang giginya terkatup rapat dan dari
wajahnya terpancar kemarahan yang sangat terhadap perkataan pasiennya yang
tidak mempunyai aturan itu. Kemudian keluarlah perkataan yang berat penuh
tekanan.
+
“Terserah apa kata saudari membela diri,… anda lanjutkan petualangan seks anda,
dengan resiko anda akan berkubang dengan penyakit kelamin yang sangat
mengerikan itu, dan sangat boleh jadi pada suatu tingkat nanti anda akan
mengidap penyakit AIDS yang sangat mengerikan itu,…atau anda hentikan dan
bertaubat kepada Allah dari mengikuti ajaran bejat itu, kalau anda menghendaki
kesembuhan!”
-
“Ma..maaf, Dok, saya telah membuat dokter tersinggung!”
Dokter
Hanung hanya mengangguk menjawab perkataan pasiennya yang terbata-bata itu.
+
“Begini saudari,…tidak ada gunanya resep saya berikan kepada anda kalau toh
tidak berhenti dari praktek kehidupan yang selama ini anda jalani. Dan semua
dokter yang anda datangi pasti akan bersikap sama,… sebab itu terserah kepada
saudari. Saya tidak bersedia memberikan resep kalau toh anda tidak mau
berhenti.”
-
“Ba…baik , Dok, …Insya Allah akan saya hentikan!”
Dokter
Hanung segera menuliskan resep untuk pasien terakhir itu, kemudian menyodorkan
kepadanya.
-
“Berapa Dok?”
+
“Tak usahlah,….saya sudah amat bersyukur kalau anda mau menghentikan cara hidup
binatang itu dan kembali kepada cara hidup yang benar menurut tuntunan dari
Rasulullah. Saya relakan itu untuk membeli resep saja.”
Pasien
terakhir dokter Hanung itu tersipu-sipu mendengar jawaban dokter Hanung.
-
“Terima kasih Dok,…….permisi.”
Perempuan
itu kembali melangkah selangkah demi selangkah di pelataran rumah Dokter
Hanung. Ia berjalan keluar teras dekat bougenvil biru yang seakan menyatu
dengan warna jilbabnya. Sampai di gerbang dia menoleh sekali lagi ke teras,
kemudian hilang ditelan keramaian kota Bandung yang telah mulai temaran di sore
itu. (sumber: Syiahindonesia.com)
Dikutip
dari :
(PurWD/voa-islam.com)
Astaghfirullah.. Akibat Nikah Mut'ah, Wanita Syi'ah Ini Mengidap Penyakit Kelamin "Gonorrhea"
4/
5
Oleh
adamovic
Loading...