Hampir
setahun kemudian, masih kuliah juga, Irwan dikaruniai seorang anak.
Sejak itulah dia harus berpikir lebih keras bagaimana mencari nafkah.
Semua peluang dimaksimalkan. Mulai dari mengajar SMA-SMA swasta hingga
berdakwah dari masjid ke masjid.
Pada 1988
setelah tamat kuliah dia istri serta anak pindah ke Padang, mulai
merintis Yayasan Pendidikan Adzkia. Awalnya cuma berupa lembaga kursus.
Lama-lama berkembang dan membuka taman kanak-kanak, dan perguruan
tinggi. Karena lama membina mengembangkan yayasan, membuat dia semakin
mapan, 1995 Irwan melanjutkan kuliah S2 dan S3 di Universitas Putra
Malaysia (UPM) Selangor. Anak dan istri juga dibawa.
Dia juga
mengajar di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Seiring berjalan menulis
banyak buku. Meraih gelar profesor. Pada 1999 Irwan jadi anggota DPR
tiga periode. Periode ketiga dia cuma setahun karena terpilih menjadi
gubernur. Sekarang jabatan gubernurnya sudah periode kedua.
Hidup Irwan
Prayitno, berpindah-pindah. Sibuk luar biasa. Namun demikian, sepuluh
anaknya semua menghafal Al-Qur'an (Hafiz) dan berhasil menduduki bangku
perguruan tinggi ternama di Indonesia bahkan di luar negeri.
Bagaimana Irwan Mendidik Anaknya?
Hal menarik dari keluarga Irwan adalah tanpa memiliki pembantu rumah tangga, di tengah rutinitasnya yang begitu sibuk.
Kuliah sambil bekerja, mendirikan yayasan, melanjutkan pendidikan, jadi dosen, jadi anggota dewan, hingga menjadi gubernur.
Bahkan
ketika sedang kuliah S2 dan S3 di Malaysia dia sudah memiliki lima anak,
tapi sempat juga berdakwah ke London, Inggris. Tugas-tugas perkuliahan
dikerjakan di perjalanan, dalam mobil, pesawat dan kereta api.
“Yang
penting itu orang tua harus punya rasa tanggung jawab kepada anaknya.
Rasa tanggungjawab itu diwujudkan dalam bentuk kepedulian,” tutur Irwan
asli Taratak Paneh, Kecamatan Kuranji, Padang itu.
Sesibuk-sibuk
apapun orang tua, karena dalam dirinya punya tanggungjawab, pasti dia
peduli dengan anaknya. “Menyisihkan waktu untuk ketemu, untuk menelepon,
dan SMS, untuk bersamanya. Sesibuk-sibuk apapun,” katanya.
Orang sibuk
itu pasti punya rumah tempat dia kembali, istirahat dan berkumpul
bersama keluarga. Walau pulang sudah larut malam, kemudian anak-anak
sudah tidur, pasti subuh mereka sudah bangun.
Mereka
masih di rumah, sebelum berangkat sekolah. “Kita kan juga ada di rumah.
Pasti ketemu tiap hari. Kalau pun dinas ke luar daerah seperti ke
Jakarta kan tidak tiap hari,” katanya.
Bangun
tidur itu, setelah shalat subuh berjemaah, bisa berbincang-bincang
dengan anak. “Kasih nasihat, ya ngobrol apa saja, tentang sekolah dan
lainnya,” ujarnya.
Pulang
malam juga tidak tiap hari. Kadang sore juga sudah pulang, ketemu juga
dengan anak. Jadi, kalau orang bertanggungjawab pas-ti ada pikiran
terhadap anak.
“Anak saya
di Jakarta. Seminggu sekali saya tugas ke Jakarta. Tidak mungkin dari
pagi, siang, hingga malam rapat bersama menteri. Pas malam kan bubar.
Saya telepon anak untuk makan malam. Ketemu, ngobrol agak sejam,”
katanya.
Itu baru di
segi waktu fisik saja, sambung Irwan, sekarang teknologi komunikasi
sudah canggih. Sudah ada aplikasi Whatsapp (WA) di HP. “Habis ini saya
ingin naik mobil ke Bukittinggi. Dalam perjalanan kalau tidak menelepon,
pasti buka WA. Ya udah komunikasi. Jadi setiap saat saya tahu di mana
kesepuluh anak saya itu berada, lagi ngapain,” katanya.
“Urusan
dengan ibunya ada pula. Kalau urusan minta-minta uang itu sama saya.
Uang jajan, uang harian, begitu pun dengan minta isikan pulsa, dan
lainnya. Komunikasi terus. pas komunikasi itu nanti masuk pesan,
nasehat, jadi terkontrol semua anak-anak saya,” ujarnya.
“Saya punya
anak sepuluh yang sudah nikah tiga. Ada yang di UI, IPB lagi ngapain,
ada yang kehilangan dompetnya. Yang di UI baru selesai Sabtu lalu, yang
di IPB baru ujian tengah semester, yang ekonomi lagi magang, tadi pagi
yang SMA kelas tiga dengah ujian,” katanya.
10 anaknya
yakni Jundi Fadhlillah pernah kuliah Fakultas Ekonomi Universitas
Andalas, Jurusan Manajemen dan di Southern New Hampshire University, US.
Kedua, Waviatul Ahdi di Fakultas Kedokteran Gigi UI. Ketiga, Dhiya’u Syahidah di SBM ITB, Westminster University, UK.
Keempat, Anwar Jundi kuliah di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan IPB.
Kelima,
Atika kuliah di FE UI. Enam, Ibrahim kuliah di Jurusan Teknik Kimia UI.
Tujuh, Shohwatul Islah di SMA 1 Padang. Delapan, Farhana di SMA 1
Padang. Sembilan, Laili Tanzila di SMPIT Adzkia. Sepuluh, Taqiya Mafaza
di SDIT Adzkia.
Pendidikan Agama
Bagi Irwan dalam mendidik anak itu cuma satu yaitu agamanya. Kalau sudah agamanya dididik, sudah aman, Insya Allah.
“Shalatnya,
baca alqurannya, belajar agamanya, ya udah, itu aja. Makanya anak saya
ketika di pendidikan dasar dan menengah di pesantren semua,” ujarnya.
Dengan tahu
agama mereka jadi baik kepada orang tua. Mereka tahu cara belajar
dengan sungguh-sungguh. “Jadi tidak perlu diatur, disuruh-suruh, nggak
macam-macam, nggak nakal-nakal. Karena agama semua,” ujarnya.
Istrinya
Nevi sampai anak ketujuh murni ibu rumah tangga. Sejak anak kedelapan,
sembilan, sepuluh, mulai bisnis. “Ketika yang paling kecil sudah masuk
TK, ya ibunya buka restoran 6 buah, minimarket 5 buah, ada bisnis
properti. Ada banyak usahanya, macam-macam,” ujar Irwan.
Mencuci baju
Dalam
mendidik anak, Irwan tidak ada mengenal kata susah. Susah dan tidak
susah itu berasal dari diri sendiri, bukan pada anak-anak. “Kalau diri
sudah mengatakan susah, semuanya susah. Hujan kalau hati susah, susah
juga. Panas susah saja. Sebaliknya kalau kita menganggap hujan senang,
panas senang, kan tidak ada yang susah,” katanya.
Misalnya
anak nangis, kalau hati mengatakan susah, ya susah juga. “Tapi kalau
saya anak menangis, senang. Alhamdulillah. Ndak apa-apa nangis, namanya
anak-anak, biasa. Kalau orang besar nangis itu baru masalah. Kalau kita
nggak ikhlas punya anak ya susah semua,” katanya.
Semua
dilakukan bersama istri. Tidak mungkin sendirian, soalnya tidak ada
pembantu. “Minimal saya cuci baju, istri saya memasak. Antar jemput
sekolah saya. Ketika sudah di DPR baru pakai sopir. Tapi sebelum di DPR,
di sini (Padang) saya antar jemput anak sekolah. Pakai motor atau
mobil,” katanya.
Setelah panjang wawancara, jam sudah menunjukkan pukul 16.10 WIB.
“Apalagi, cukup?” kata Irwan yang terlihat hendak mengakhiri pembicaraan.
“Kalau
masih ada nanti ditelepon saja. Bisa, nanti saya sisihkan waktunya,”
kata Irwan sambil bersiap berangkat ke Bukittinggi. (*)
Sumber : islamedia.com