Pelajaran mana yang lebih baik daripada sebuah keteladanan? Terlebih
dalam kondisi ketika banyak pemimpin negeri kita yang tak amanah. Namun
tak selayaknya kita berputus asa, justru kita wajib berdoa. Semoga Allah
kan hadirkan sosok pemimpin teladan seperti sejarah merekam Umar bin
Khattab dan kepemimpinan beliau dalam
kisah inspirasi berikut...
***
Krisis itu masih melanda Madinah.
Korban sudah banyak berjatuhan. Jumlah orang-orang miskin terus
bertambah. Khalifah Umar Bin Khatab yang merasa paling bertanggung jawab
terhadap musibah itu, memerintahkan menyembelih hewan ternak untuk
dibagi-bagikan pada penduduk.
Ketika tiba waktu makan, para
petugas memilihkan untuk Umar bagian yang menjadi kegemarannya: punuk
dan hati unta. Ini merupakan kegemaran Umar sebelum masuk islam. “Dari
mana ini?” Tanya Umar.
“Dari hewan yang baru disembelih hari ini,” jawab mereka.
“Tidak!
Tidak!” kata Umar seraya menjauhkan hidangan lezat itu dari hadapannya.
“Saya akan menjadi pemimpin paling buruk seandainya saya memakan daging
lezat ini dan meninggalkan tulang-tulangnya untuk rakyat.”
Kemudian
Umar menuruh salah seorang sahabatnya,” Angkatlah makanan ini, dan
ambilkan saya roti dan minyak biasa!” Beberapa saat kemudian, Umar
menyantap yang dimintanya.
Kisah yang dipaparkan Khalid Muhammad
Khalid dalam bukunya ar-Rijal Haular Rasul itu menggambarkan betapa
besar perhatian Umar terhadap rakyatnya. Peristiwa seperti itu bukan
hanya terjadi sekali saja. Kisah tentang pertemuan Umar dengan seorang
ibu bersama anaknya yang sedang menangis kelaparan, begitu akrab di
telinga kita. Ditengah nyenyaknya orang tidur. Ia berkeliling dan masuk
sudut-sudut kota Madinah. Ketika bertemu seorang ibu dan anaknya yang
sedang kelaparan, Umar sendiri yang pergi mengambil makanan. Ia sendiri
juga yang memanggulnya, mengaduknya, memasaknya dan menghidangkannya
untuk anak-anak itu.
Keltika kelaparan mencapai puncaknya Umar
pernah disuguhi remukan roti yang dicampur samin. Umar memanggil seorang
badui dan mengajaknya makan bersama. Umar tidak menyuapkan makanan ke
mulutnya sebelum badui itu melakukannya terlebih dahulu. Orang badui
sepertinya sangat menikmati makanan itu. “Agaknya Anda tidak pernah
merasakan lemak?” Tanya Umar.
“Benar,” kata badui itu. “Saya
tidak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun. Saya juga sudah lama
tidak menyaksikan orang-orang memakannya sampai sekarang,” tambahnya.
Mendengar kata-kata sang badui, Umar bersumpah tidak akan makan lemak sampai
semua orang hidup seperti biasa. Ucapannya benar-benar dibuktikan.
Kata-katanya diabadikan sampai saat itu, “Kalau rakyatku kelaparan, aku
ingin orang pertama yang merasakannya. Kalau rakyatku kekenayangan, aku
ingin orang terakhir yang menikmatinya.”
Padahal saat itu Umar
bisa saja menggunakan fasilitas Negara. Kekayaan Irak dan Syam sudah
berada ditangan kaum Muslimin. Tapi tidak. Umar lebih memilih makan
bersama rakyatnya.
Pada kesempatan lain, Umar menerima hadiah
makanan lezat dari Gubernur Azerbeijan, Utbah bin Farqad. Namun begitu
mengetahui makanan itu biasanya disajikan untuk kalangan elit, Umar
segera mengembalikannya. Kepada utusan yang mengantarkannya Umar
berpesan, “Kenyangkanlah lebih dulu rakyat dengan makanan yang biasa
Anda makan.”
Sikap seperti itu tak hanya dimiliki Umar bin
Khattab. Ketika mendengar dari Aisyah bahwa Madinah tengah dilanda
kelaparan. Abdurrahman bin Auf yang baru pulang dari berniaga segera
membagikan hartanya pada masyarakat yang sedang menderita. Semua
hartanya dibagikan.
Ironisnya, sikap ini justru amat jauh dari
para pejabat sekarang. Penderitaan demi penderitaan yang terus melanda
bangsa ini, tak meyadarkan mereka. Naiknya harga kebutuhan pokok sebelum
harga BBM naik dan meningkatnya jumlah orang-orang miskin, tak
menggugah hati mereka. Bahkan, perilaku boros mereka kian marak.
Anggota
Dewan yang ditunjuk rakyat sebagai wakil, justru banyak yang
berleha-leha. Santai dan mencari aman. Pada saat yang sama, para pejabat
yang juga dipilih langsung, tak pernah memikirkan rakyat. Yang ada
dalam benak mereka , bagaimana bisa aman selama lima tahun ke depan.
Mereka
yang dulu vocal mengkritik para pejabat korup dan zalim, justru kini
diam. Ia takut kalau kursi yang saat ini didudukinya lepas. Sungguh jauh
beda dengan Abu Dzar al-Ghifari, seorang sahabat Rasulullah saw. Ketika
suatu saat dia cukup pedas mengkritik para pejabat di Madinah, Ustman
bn Affan memindahkannya ke Syam agar tak muncul konflik. Namun, ditempat
inipun ia melakukan kritik tajam pada Muawiyah bin Abu Sufyan agar
menyantuni fakir miskin.
Muawiyah pernah mengujinya dengan
mengirimkan uang. Namun ketika esok harinya uang itu ingin diambilnya
kembali, ternyata Abu Dzar telah membagikannya pada fakir miskin.
Sesungguhnya,
negeri kita ini tidak miskin. Negari kita kaya. Bahkan teramat kaya.
Tapi karena tidak dikelola dengan baik, kita menjadi miskin. Negeri kita
kaya, tapi karena kekayaan itu hanya berada pada orang-orang tertentu
saja, rakyat menjadi miskin. Kekayaan dimonopoli oleh para pejabat,
anggota parlemen dan para pengusaha tamak.
Di tengah suara
rintihan para pengemis dan orang-orang terlantar, kita menyaksikan para
pejabat dan orang-orang berduit dengan ayik melancong ke berbagai
negari. Mereka seolah tanpa dosa menghambur-hamburkan uang dengan
membeli barang serba mewah.
Ditengah gubuk-gubuk reot penuh
tambalan kardus bekas, kita menyaksikan gedung-gedung menjulang langit.
Diantara maraknya tengadah tangan-tangan pengemis, mobil-mobil mewah
dengan santainya berseleweran. Pemandangan kontras yang selalu memenuhi
hari-hari kita.
Dimasa Umar bin Abdul azis, umat islam pernah
mengalami kejayaan. Kala itu sulit mencari mustahiq (penerima) zakat.
Mereka merasa sudah mampu, bahkan harus mengeluarkan zakat. Mereka tidak
terlalu kaya. Tapi, kekayaan dimasa itu tidak berkumpul pada
orang-orang tertentu saja.
Disinilah peran zakat, infak dan shadaqah. Tak hanya untuk ‘membersihkan’ harta si kaya, tapi juga menuntaskan kemiskinan.
Jika
ini tidak kita lakukan, kita belum menjadi mukmin sejati. Sebab,
seorang Mukmin tentu takkan membiarkan tetanggana kelaparan. Rasulullah
saw bersabda, “Tidak beriman seseorang yang dirinya kenyang, sementara
tetangganya kelaparan.” (HR. Muslim)
(Majalah Sabili no 7 Th XIII Judul Asli : "Prihatin pada Rakyat Miskin")